“Mengapakah engkau
melihat selumbar didalam mata saudaramu, sedangkan balok didalam matamu sendiri
tidak engkau ketahui “? (Lukas 6:41)
Nas firman Tuhan tsb diatas dalam praktek kehidupan sehari-hari, ada banyak dilakukan secara tidak langsung oleh orang-orang yg ingin terpilih menjadi presiden atau pemilihan kepala daerah, dll.
Misalnya calon presiden dari partai Republik Donald Trump mengungkit semua kesalahan dari para saingannya, termasuk juga antara lain dg mengatakan bahwa calon Presiden dari partai Demokrat Hillary Clinton adalah seorang rasialis. Padahal Donald Trump sendiri lupa bahwa dalam kampanye sebelumnya dia mengatakan akan memperkuat proses pemeriksaan imigrasi di daerah perbatasan supaya orang-orang Amerika Latin tidak dg mudah bisa hijrah ke Amerika, ataupun dia juga akan mempersulit proses naturalisasi para emigran yg mau menjadi warga negara Amerika.
Demikian juga hal demikian terjadi di Jakarta dalam pemilihan kepala daerah, para pihak yg ingin terpilih menjadi gubernur yg baru, mereka tidak sungkan-sungkan menjelek-jelekan calon gubernur DKI petahana dg mengatakan bahwa sifatnya buruk yaitu arogan dan tidak santun.
Contoh yg simpel :
Ada artikel di koran Pos Kota minggu lalu, suatu tulisan karangan Massoes, tentang belajar dari kekeliruan pak guru. Konon, ada seorang bapak guru menulis angka angka perkalian, didepan kelas. Yg dipilih adalah angka tujuh dikalikan satu sampai sepuluh, secara berurutan dari atas kebawah. Tetapi ada yg salah, yakni pada urutan pertama ditulisnya : 7 x 1 = 6. Gara gara kekeliruan ini, seisi kelasnya-pun gaduh. Ada beberapa murid yg tertawa, ada pula beberapa murid yg berteriak keras-keras: Nomor satu salah, Pak !
Pak guru itu tidak mau menunggu lama-lama, dia buru buru memperbaiki kesalahannya dan menulis angka perkaliannya dengan benar, yakni 7 x 1 = 7. Pak guru masih mendengar anak-anak didiknya ribut : Ada murid yg bilang bahwa pak guru lagi pusing, kali ya? Atau ada yg bilang pak guru belum gajian ? Ada juga yg bilang, mungkin ada yg mengancam? Ada juga yg bilang ‘engga tahulah”, tapi yg jelas walaupun sedang pusing seperti apapun, masa iya tujuh kali satu saja pak guru menjawab salah?
Setelah anak-anak tenang, sang guru bicara: Anak anakku, terima kasih kalian telah mengingatkan bapak. Itu tandanya kalian menyimak apa yg bapak ajarkan. Kalian memperhatikan sehingga ada kesalahan kalian tahu. Anak-anakku , tahukah kalian bahwa bapak sudah ribuan kali mengajarkan angka-angka perkalian ini dengan benar, tetapi tidak ada seorangpun yg menghiraukan. Jangankan pujian, ucapan terima kasih saja tidak ada. Padahal, kebenaran sudah bapak sampaikan berulang kali! Sungguh suatu komentar yg sederhana, tetapi tepat sasaran. Pak guru diam dan para murid juga diam.
Masing-masing terbenam dalam pikirannya sendiri. Nasihat dari kisah “salah tulis” pak guru bisa diartikan,yakni betapa kesalahan yg kecil dari seseorang akan dapat nampak bagi kita. Tetapi kesalahan kita sendiri yg besar yaitu “lupa mengucapkan terima kasih” kepada orang itu yg sudah mengajarkan kebenaran & kebaikkan, itu tidak kita ketahui.
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita,umatNya agar jangan mudah menyalahkan kesalahan kecil dari seseorang. Sebab kesalahan kecil itu kalau sering digembar-gemborkan terhadap “orang-orang lain dg berbagai cara di sosial media, koran, internet, gosip, fitnah dll, maka hal itu akan dengan mudah menjadi seolah-olah suatu kesalahan yg besar. Padahal kita sendiri tidak mengetahui bahwa kita sendiri juga telah melakukan kesalahan yg jauh lebih besar daripada orang itu.
Terhadap orang-orang yg seperti demikian, Tuhan Yesus menyebut mereka sebagai orang munafik. (Lukas 6:42) Sebagai orang-orang yg percaya kepada Tuhan, tentunya kita tidak mau disebut Tuhan sebagai orang-orang munafik, bukan ? Lebih baik kita menginterospeksi diri kita masing-masing sebelum kita mengkoreksi orang lain.
Doa kami:
Tuhan Yesus, kami bersyukur atas nasihatMu diatas, ajarlah, tegorlah dan didiklah kami selalu agar kami tidak menjadi orang-orang yg munafik dihadapanMu. Amin